27 Okt 2017

Peradaban Fast Food (makanan siap saji)


Kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat?
Manusia “modern” telah kehilangan keseimbangannya. Ia rela disebut manusia “terbelakang” asalkan bisa tetap menjadi manusia paripurna, yang hidup memilih, -untuk berbuat atau tidak berbuat-, bukan karena desakan eksternal semata. Ia percaya bahwa hidup ini ada titi kolo mongso (momentum)nya, cepat atau lambat sesuai naturnya masing-masing.

Dalam berbagai seminar, kita sering dicekoki doktrin bahwa setiap manusia yang lahir adalah pemenang. Dari sekian juta sel sperma, hanya satu yang berhasil membuahi sel telur. Benarkah demikian? Tidak. Sperma yang berhasil sampai di bagian luar sel telur tidak hanya satu dan yang berhasil masuk bukan yang pertama kali sampai, namun yang momentumnya pas. Ini membantah teori manusia sebagai pemenang dalam aspek kecepatan.

Tahun 70-an terjadi krisis pangan global. Jutaan warga dunia mengalami kelaparan setidaknya di 40 negara. Selepasnya, manusia membuat terobosan untuk mempercepat tersedianya pangan. Kita mengenalnya dengan sebutan Revolusi Hijau. Keputusan (terburu-buru) ini kemudian menumbuhkan berbagai masalah yang jauh lebih parah, berkurangnya kualitas kehidupan (tanah, tumbuhan, hewan dan manusia). Bahkan, penurunan kualitas makanan akibat percepatan produksi mengurangi angka harapan hidup manusia.

Jika melihat sejarah usia orang dahulu, yang juga merupakan penanda peradaban manusia, kecepatan hidup manusia berbanding terbalik dengan usianya. .
Progress jumlah penduduk kerap dijadikan kambing hitam berkurangnya angka harapan hidup manusia. Persaingan mendapatkan makanan membuat manusia bergerak lebih cepat, pun dengan sel-sel tubuh didalamnya. Akibatnya, usia pakai juga berkurang. Ini bisa menjelaskan mengapa usia manusia cenderung menurun. Laiknya, motor, jika dipakai untuk keperluan sehari-hari umur pakainya pasti lebih panjang bila dibandingkan dengan motor yang dipakai buat usaha ojek.

Akan tetapi, jika diselami lebih dalam, jumlah penduduk dan kebutuhan makanannya bukan merupakan kausa prima angka berkurangnya angka harapan hidup manusia. Karena kenyataannya, negara maju padat penduduk memiliki angka harapan hidup lebih tinggi dibanding penduduk di negara berkembang maupun negara yang belum maju. Benang merah yang menyambung itu semua adalah akses terhadap sumber-sumber produksi atau dalam bahasa Mashlow disebut ruang aktualisasi diri.

Untuk konteks Indonesia, berkurangnya stok pangan bukan karena perkembangan jumlah penduduknya tapi karena stok produksi yang menurun. Stok pangan berkurang karena penurunan luas lahan dan jumlah petani yang trennya juga liniear degradatif. Berkurangnya akses terhadap lahan erat kaitannya dengan transformasi lahan ke usaha lain yang dianggap lebih menguntungkan seperti industri (pabrik, perumahan dan perdagangan). Berpindahnya petani ke sektor lain karena usaha budidaya pertanian sudah tidak menguntungkan.

Garis yang menghubungkan usaha tani dan usaha industri adalah akses terhadap uang (perbankan). Mayoritas petani tidak berhubungan dengan perbankan (SOUT 2012, BPS), sedangkan usaha industri tidak bisa lepas dari perbankan.

Dalam produksinya, industri mengakses uang dari perbankan berbunyi kredit plus bunga yang kudu dikembalikan. Kondisi ini memaksa usaha industri memutar otak untuk melakukan efisiensi agar kredit plus bunga bisa diangsur simultan mendapat keuntungan. Konsekuensinya, semua harus cepat sehingga muaranya orang (tenaga kerja) dan kualitas bahan baku yang dikorbankan. ini adalah kausa prima penurunan kualitas hidup manusia yang berdampak pada penurunan angka harapan hidup.

Uang yang bersifat kredit dan menuntut anakan (bunga) dengan jumlah terbatas memaksa manusia berebut dan bergerak lebih cepat (dengan dalih inovasi). Bayangkan, jika uang tidak berbunga dan bukan kredit. Orang tak perlu terburu-buru produksi dan semua orang bisa produksi jika uang tersedia jika dibutuhkan. Petani tak perlu takut sambung dengan perbankan dan tak perlu pakai pupuk sintesis guna mempercepat produksi untuk menyicil hutang plus bunga.

Pengusaha makanan tidak perlu terburu-buru menyuguhkan makanan karena konsumen tidak perlu terburu-buru makan, kejar-kejaran dengan waktu istirahat atau deadline setoran. Pengusaha minyak tak perlu membakar hutan hanya untuk memangkas biaya produksi guna membayar utang perusahaan ke bank.

Manusia bisa hidup dan kerja dengan tenang, mengikuti ritme alami (mongso) semesta. Untuk apa makan fast food namun pada akhirnya hidup menjadi pendek (short life)?

catatankita, catatan aku, catatan kamu, untuk kita semua

This Is The Newest Post
Jangan Lupa Komentar Anda :