25 Jul 2017

Mem - PNS - kan Petani Padi


Catatankita.com - Beras adalah salah satu komoditi yang amat penting di Republik ini. Dari daftar sembilan bahan pokok, beras menduduki peringkat pertama. Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional 2013, kelompok padi-padian (terutama beras) bertengger paling atas pada persentase pengeluaran rerata/kapita/bulan sebesar 7,46%. Sementara bagi penduduk miskin, persentase pengeluaran untuk mengakses beras lebih tinggi lagi, yaitu sebesar 30%.

Akan tetapi, posisi strategis beras yang mengisi perut setiap warga, minimal tiga kali sehari, tidak linear dengan nasib atau kesejahteraan profesi petani padi selaku produsen gabah sebelum digiling menjadi beras. Survey Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan (SOUT) tahun 2012 oleh BPS menyatakan bahwa rumah tangga usaha tani (padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar) di Indonesia menganggap bahwa prospek usaha mereka 56,60% sama saja, 7,12% lebih buruk dan hanya 36,26% yang mempersepsikan akan lebih baik. Angka tersebut menunjukkan bahwa profesi petani dianggap sudah tidak menguntungkan untuk digeluti. Di level pendidikan tinggi, kuota fakultas pertanian banyak tidak terisi atau tidak terpenuhi, bahkan di kampus-kampus ternama. Ini mengindikasikan bahwa generasi muda juga menganggap profesi petani tidak menarik.

Secara ekonomis, usaha budidaya padi jauh dari kata menguntungkan. Dengan nilai aset tanah senilai 350 juta sampai 1,5 milyar, pendapatan petani hanya bergerak di kisaran 1-3 juta/bulan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika banyak petani yang lebih memilih untuk menjual lahan dan beralih ke usaha lain yang lebih menguntungkan. Misalnya, di Ubud, Bali, nilai lahan sawah mencapai 15 juta/meter persegi. Alhasil, petani memilih menjual lahan dan beralih ke bisnis cottage dengan pendapatan bersih 25-50 juta per bulan.

Rentang 1992-2002, laju konversi lahan/tahun mencapai 110.000 ha. Periode 2002-2006 melonjak menjadi 145.000 ha/tahun. Lebih ironis, di Jawa, rentang 2007-2010 laju konversi rerata 200.000 ha/tahun (Kompas, 24/5/2011). Pada 2007, lahan (sawah beririgasi teknis, non teknis dan lahan kering) di Jawa masih 4,1 juta hektar, kini, 2013, tersisa 3,5 juta hektar. Tanpa usaha moratorium konversi lahan, terutama di pulau Jawa, ketahanan pangan bakal menghadapi ancaman serius. Sawah-sawah subur di pulau Jawa menyumbang 56-60 persen produksi nasional. Dengan support irigasi teknis, produktivitas sawah di Jawa rerata 5,187 ton/ha, sementara di luar Jawa hanya 3,94 ton/ha. Sementara, pencetakan sawah baru oleh pemerintah hanya 37.000-45.000 ha/tahun.

Senyatanya, pemerintah tidak tinggal diam. UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dikeluarkan untuk mengerem laju konversi lahan. Akan tetapi, usaha ini tidak berhasil. Buktinya, konversi lahan tidak terbendung, terutama di Jawa. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih kuat. Menurut penulis, salah satu alternatif kebijakan adalah mem-PNS-kan petani padi. Petani padi kudu disubsidi habis-habisan. Laiknya logika PNS, selama petani menanam dengan target panen realistis yang telah diverifikasi, petani harus digaji fix/ bulan. Tentu saja dengan nominal yang layak bagi kemanusiaan, yaitu pada kisaran 2,5 juta per bulan dengan bonus renumerasi jika hasil panen melampaui target. Jika hasil dibawah target, pendapatan petani tidak boleh dikorbankan. Selain itu, seluruh biaya produksi dan subsidi gagal panen ditanggung oleh negara (pemerintah). Petani jangan lagi dipusingkan dengan penjualan. Bulog dapat difungsikan kembali oleh negara sebagai jembatan antara supplier utama (petani) dengan supplier pendukung (tengkulak atau pengusaha) agar harga tidak fluktuatif sebelum di lempar ke demander (konsumen).

Tawaran alternatif kebijakan di atas cukup beralasan. Pertama, jumlah penduduk Indonesia terus meningkat. Menurut data data resmi sensus penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh BPS, penduduk Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa. Berangkat dari angka ini, jika kita menggunakan data pertumbuhan penduduk indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, yakni 1.49% per tahun, maka jumlah penduduk indonesia tahun 2014 ini akan menjadi 252.124.458 jiwa. Dengan angka nasional kebutuhan beras/kapita/tahun mencapai 127 kg, total kebutuhan beras nasional sebanyak 32,02 juta ton/tahun.

Kedua, luas panen padi nasional sebesar 13,83 juta ha dengan rerata produktivitas 5,15 ton (BPS, 2013). Dengan demikian, produksi padi nasional mencapai 71,27 juta ton GKP. Dengan memperhatikan persentase kehilangan panen 20,42%; kehilangan pada saat panen (9,5%), perontokan (4,8%), pengeringan (2,1%), penggilingan (2,2%), penyimpanan (1,6%), dan pengangkutan (0,2%), produksi gabah nasional tersisa 57,01 juta ton GKG atau setara 31,35 juta ton beras (asumsi koefisien giling 0,55).

Dengan demikian, defisit stok beras nasional sebesar 0,73 juta ton, plus cadangan nasional minimal 2 juta ton beras. Data ini selaras dengan klaim Departemen Pertanian RI bahwa persentase impor beras 25% dari total produksi nasional. Ditambah dengan angka konversi lahan yang terus menggelinding di kisaran 100.000 ha/tahun, bangsa ini menghadapi ancaman kerawanan pangan dan kepunahan petani padi. Dengan rentan usia petani padi antara 48-60 tahun dan ke-emoh-an anak muda untuk menyeriusi profesi ini, kurang lebih sepuluh tahun ke depan, indonesia berpotensi kehilangan satu profesi. Oleh karena itu, alternatif kebijakan yang ditawarkan catatankita.com patut untuk dipertimbangkan. Setidaknya efektif akan dua hal:
  • mencegah konversi lahan padi
  • dan menarik minat pemuda untuk menjadi petani. Pada akhirnya, ancaman kerawanan pangan bisa diatasi

catatankita, catatan aku, catatan kamu, untuk kita semua

Jangan Lupa Komentar Anda :