29 Jul 2017

REVOLUSI AGRARIA

Catatankita.com - Satu hal yang masih menjadi misteri bagi saya adalah klaim kepemilikan manusia atas tanah. Setahu saya, bumi ini sudah ada mendahului kita, manusia. Jadi, kita adalah kontraktor. Namun, apa boleh buat, kita sudah terlanjur gandrung. Apalagi, praktik ini dilanggengkan secara konstitusi oleh negara.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga pencatat hak atas tanah. Sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN berbunyi hak milik. Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional, Gunawan Muhammad, lahan yang tidak dikuasai individu dikuasai oleh negara dan diiventarisir oleh Kementerian Keuangan. Namun, tidak semua lahan terverifikasi.

Dan kini saya memberikan contoh seperti Konflik lahan di Urut Sewu adalah buntut keberadaan lahan yang belum tersertifikasi. Ironisnya, konflik tersebut melibatkan lembaga keamanan negara yang semestinya melindungi rakyat. Sampai tulisan ini dibuat, rakyat Urut Sewu bersama-sama mahasiswa, aktivis dan LSM sedang berjuang hak atas lahan yang menjadi hak mereka.

Sebelum republik ini berdiri, pada jaman kerajaan, perkara lahan/ tanah sepenuhnya menjadi otoritas raja. Bukan berarti Raja yang memiliki. Raja hanya administrator mutlak yang membagi pencatatan penggunaan/pemanfaatan lahan via unit kerja yang ditunjuk. Dengan demikian, pemanfaatan lahan oleh rakyat berbunyi hak pakai sehingga untuk keperluan pembangunan saat itu tidak perlu repot-repot membahas ganti rugi atau ganti untung. Raja tinggal mencarikan lahan baru untuk ditempati oleh rakyatnya, termasuk mengganti-bangunkan aset-aset yang berdiri di atasnya (rumah, gudang atau bangunan lainnya). DIY adalah satu diantara propinsi di negara ini yang masih mempraktekan otoritas semacam ini, meskipun tidak lagi paripurna, side by side dengan sistem sistem pencatatan oleh BPN.

Selain itu, praktik sistem keuangan kita menjadi kausa kerentanan perampasan lahan (land grabbing) tidak kentara. Akses uang melalui perbankan membutuhkan jaminan dan tanah adalah salah satunya. Saat seseorang gagal bayar pinjaman plus bunga, bank berhak melelang tanah yang diagunkan. Dari proses ini, negara hanya mendapat “receh” berupa “administrasi” proses pelelangan. Kemana sertifikat tanah ini jatuh? Tentu saja ke kalangan berduit. Hal ini menjawab fakta 0,2% penduduk Indonesia menguasai 56 persen aset produktif dan 87% dalam bentuk tanah.

Atas nama pembangunan, praktik land grabbing juga kerap dilakukan oleh pemerintah. Demi memuluskan investasi, masyarakat yang resisten terhadap upaya land grabbing biasanya diusir keluar tanpa konsultasi dan kompensasi oleh aparatur negara. Kalaupun ada pengantian, lebih banyak tidak sepadan karena memang namanya ganti rugi.

Oleh karena itu, REFORMASI AGRARIA sudah tidak cukup lagi untuk menegakkan keadilan akses lahan. Diperlukan REVOLUS AGRARIA berupa penyerahan hak milik atas tanah/ lahan ke Negara, bertransformasi menjadi hak pakai. Sebagai kompensasi, nilai lahan tersebut dihitung dan menjadi simpanan bagi rakyat. Namun, aksi tersebut belumlah cukup dan harus didukung akses anggaran by name by address (hak atas uang yang bebas jaminan plus bunga) dengan balas jasa bagi hasil ke negara.

Untuk menyegarkan semangat berjuang untuk sesuatu yang kita yakini ideal bagi setiap jiwa di bumi Indonesia, saya kutip petikan Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang kita kenal sebagai kelahiran Pancasila, “kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.”

catatankita, catatan aku, catatan kamu, untuk kita semua

Jangan Lupa Komentar Anda :