27 Okt 2017

Peradaban Fast Food (makanan siap saji)


Kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat?
Manusia “modern” telah kehilangan keseimbangannya. Ia rela disebut manusia “terbelakang” asalkan bisa tetap menjadi manusia paripurna, yang hidup memilih, -untuk berbuat atau tidak berbuat-, bukan karena desakan eksternal semata. Ia percaya bahwa hidup ini ada titi kolo mongso (momentum)nya, cepat atau lambat sesuai naturnya masing-masing.

Dalam berbagai seminar, kita sering dicekoki doktrin bahwa setiap manusia yang lahir adalah pemenang. Dari sekian juta sel sperma, hanya satu yang berhasil membuahi sel telur. Benarkah demikian? Tidak. Sperma yang berhasil sampai di bagian luar sel telur tidak hanya satu dan yang berhasil masuk bukan yang pertama kali sampai, namun yang momentumnya pas. Ini membantah teori manusia sebagai pemenang dalam aspek kecepatan.

Tahun 70-an terjadi krisis pangan global. Jutaan warga dunia mengalami kelaparan setidaknya di 40 negara. Selepasnya, manusia membuat terobosan untuk mempercepat tersedianya pangan. Kita mengenalnya dengan sebutan Revolusi Hijau. Keputusan (terburu-buru) ini kemudian menumbuhkan berbagai masalah yang jauh lebih parah, berkurangnya kualitas kehidupan (tanah, tumbuhan, hewan dan manusia). Bahkan, penurunan kualitas makanan akibat percepatan produksi mengurangi angka harapan hidup manusia.

Jika melihat sejarah usia orang dahulu, yang juga merupakan penanda peradaban manusia, kecepatan hidup manusia berbanding terbalik dengan usianya. .
Progress jumlah penduduk kerap dijadikan kambing hitam berkurangnya angka harapan hidup manusia. Persaingan mendapatkan makanan membuat manusia bergerak lebih cepat, pun dengan sel-sel tubuh didalamnya. Akibatnya, usia pakai juga berkurang. Ini bisa menjelaskan mengapa usia manusia cenderung menurun. Laiknya, motor, jika dipakai untuk keperluan sehari-hari umur pakainya pasti lebih panjang bila dibandingkan dengan motor yang dipakai buat usaha ojek.

Akan tetapi, jika diselami lebih dalam, jumlah penduduk dan kebutuhan makanannya bukan merupakan kausa prima angka berkurangnya angka harapan hidup manusia. Karena kenyataannya, negara maju padat penduduk memiliki angka harapan hidup lebih tinggi dibanding penduduk di negara berkembang maupun negara yang belum maju. Benang merah yang menyambung itu semua adalah akses terhadap sumber-sumber produksi atau dalam bahasa Mashlow disebut ruang aktualisasi diri.

Untuk konteks Indonesia, berkurangnya stok pangan bukan karena perkembangan jumlah penduduknya tapi karena stok produksi yang menurun. Stok pangan berkurang karena penurunan luas lahan dan jumlah petani yang trennya juga liniear degradatif. Berkurangnya akses terhadap lahan erat kaitannya dengan transformasi lahan ke usaha lain yang dianggap lebih menguntungkan seperti industri (pabrik, perumahan dan perdagangan). Berpindahnya petani ke sektor lain karena usaha budidaya pertanian sudah tidak menguntungkan.

Garis yang menghubungkan usaha tani dan usaha industri adalah akses terhadap uang (perbankan). Mayoritas petani tidak berhubungan dengan perbankan (SOUT 2012, BPS), sedangkan usaha industri tidak bisa lepas dari perbankan.

Dalam produksinya, industri mengakses uang dari perbankan berbunyi kredit plus bunga yang kudu dikembalikan. Kondisi ini memaksa usaha industri memutar otak untuk melakukan efisiensi agar kredit plus bunga bisa diangsur simultan mendapat keuntungan. Konsekuensinya, semua harus cepat sehingga muaranya orang (tenaga kerja) dan kualitas bahan baku yang dikorbankan. ini adalah kausa prima penurunan kualitas hidup manusia yang berdampak pada penurunan angka harapan hidup.

Uang yang bersifat kredit dan menuntut anakan (bunga) dengan jumlah terbatas memaksa manusia berebut dan bergerak lebih cepat (dengan dalih inovasi). Bayangkan, jika uang tidak berbunga dan bukan kredit. Orang tak perlu terburu-buru produksi dan semua orang bisa produksi jika uang tersedia jika dibutuhkan. Petani tak perlu takut sambung dengan perbankan dan tak perlu pakai pupuk sintesis guna mempercepat produksi untuk menyicil hutang plus bunga.

Pengusaha makanan tidak perlu terburu-buru menyuguhkan makanan karena konsumen tidak perlu terburu-buru makan, kejar-kejaran dengan waktu istirahat atau deadline setoran. Pengusaha minyak tak perlu membakar hutan hanya untuk memangkas biaya produksi guna membayar utang perusahaan ke bank.

Manusia bisa hidup dan kerja dengan tenang, mengikuti ritme alami (mongso) semesta. Untuk apa makan fast food namun pada akhirnya hidup menjadi pendek (short life)?

4 Agu 2017

PETUAH ORANG MUNA, MAKAN dan TANGGA


Jangan makan di atas tangga, mama(ibu)mu bisa meninggal karenanya!. Kalimat ini kerap didengar teman saya semasa kecil. Sepintas terdengar konyol atau setidaknya terlalu lebay. Tidak ada kausalitas yang kuat antara makan di tangga seorang anak dengan kematian mamanya.

Akan tetapi, teman saya penganut idiom “manis jangan cepat di telan, pahit jangan lantas dimuntahkan”. Apakah sedemikian konyolnya leluhur bangsa sulawesi tenggara khususnya orang Muna hingga mewariskan produk budaya yang kelak hanya akan jadi bahan tertawaan?

Salah satu ciri masyarakat yang peradabannya maju adalah kualitas bahasanya. Semakin halus tingkat karsa dan rasanya, semakin halus cipta yang dihasilkan. Di saat bangsa Eropa menginvasi Amerika dengan membantai bangsa Indian, bangsa Muna sudah hidup selaras dengan alam. Saat bangsa Eropa merampas tanah, kita sudah berteman karib dengan tanah. Anda masih ingat praktik “kaago-ago”? Karena ketidaktahuan dan kesimpulan yang terburu-buru, sebagian orang menganggapnya sebagai praktik primitif penyembahan makhluk. Padahal, tidak ada kemesraan paling tinggi dari rasa yang coba diekspresikan via ritual “kaago-ago”.

Peradaban maju identik dengan ekspresi simboliknya termasuk dalam hal berkomunikasi. Praktik “kaago-ago” adalah bentuk komunikasi yang mentransfer rasa ke wujud cipta. Saat rasa kita tak sampai pada maksud rasa, sulit untuk menginterpretasi ciptanya dengan tepat. “Kaago -ago” adalah monumen ucapan terima kasih manusia kepada alam (salah satunya tanah/lahan) setelah sekian banyak manfaat yang diperoleh.

Identik dengan “kaago-ago”, kalimat “Jangan makan di atas tangga, !” adalah bentuk komunikasi kasta puncak untuk menyampaikan rasa (maksud) mewujud teguran. Bagi Anda yang sudah menikah pasti familiar dengan terma “tungguno karete”. Mengapa wakil yang diutus harus bersusah payah menggunakan istilah jagung dan kakak tua hanya untuk bertanya apakah si perempuan sudah ada yang melamar?. Begitulah, semakin halus tingkat rasa, maka kata-kata atau kalimat tak sampai hati harus vulgar.

Kalimat “Jangan makan di atas tangga, mama(ibu)mu bisa meninggal karenanya!” adalah bentuk teguran yang hendak disampaikan oleh orang yang kebetulan melintas. Jika divulgarkan maksudnya kurang lebih begini, “Wahai Ibu penghuni rumah, tolong ajari anakmu adab makan. Anda itu masih hidup atau sudah mati sih, sampai anakmu makan di tangga”.

Untuk konteks kekinian, halusnya kata-kata atau kalimat kelihatannya sudah nyaris punah. Betapa mudahnya kita menghina, merendahkan mengkafirkan orang lain, vulgar lagi. Betapa jatuhnya pamor atau nilai sebuah amanah/kepemimpinan hingga harus dikampanyekan. Betapa mahal sebuah kepercayaan hingga kita harus memintanya. Malulah kita pada leluhur. Bahkan tanah saja mereka muliakan.

1 Agu 2017

LAND GRABBING dan SISTEM KEUANGAN

Catatankita.com - Perampasan tanah (lahan) di Indonesia berlangsung secara konstitusional sebagai bagian dari sistem keuangan neo-romusha/ neo-rodi. Hanya ada 2 (dua) pintu akses uang, melalui:
  1. Fiskal (anggaran pemerintah) dan
  2. Moneter (perbankan). Perampasan lahan (land grabbing) terjadi melalui pintu kedua. 
Pencairan uang via perbankan menuntut agunan. Galibnya, kepemilikan tanah dijadikan alat barter, meskipun tidak seimbang. Uang yang bisa diakses selalu lebih kecil dari nilai aset (tanah) yang dijaminkan, kurang lebih 30%-nya. Tinggal menunggu antrian, satu per satu rakyat kehilangan tanah karena tidak mampu membayar kembali kredit plus bunga yang mengikuti.

Dan ini saya kasih satu contoh bibinya teman saya, contoh yang rumahnya yang belum ke LELANG oleh bank (*yang sudah dilelang oleh bank sudah banyak di internet), sebut saja namanya Nursia, adalah seorang pengusaha kecil. Beliau berjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti kasur, kipas angin, lemari, dan lain-lain.

Beliau tidak pernah belajar ilmu marketing karena memang tidak pernah kuliah. Jadi, beliau berjualan berdasarkan permintaan. Tidak ada target penambahan pelanggan yang terukur. Penambahan pelanggan lebih karena informasi mulut-telinga-mulut pelanggan-pelanggannya.

Awalnya beliau berjualan dari modal yang dikumpulkan sendiri dari hasil bekerja di perusahaan pengalengan ikan selama 10 tahun. Berniat memperbesar modal, beliau mengajukan permohonan kredit ke salah satu bank plat merah. Dengan sertifikat rumah sebagai jaminan, beliau meminjam sejumlah 40 juta rupiah untuk jangka waktu 2 tahun dan mengembalikan 2,2 juta rupiah per bulan untuk pokok dan bunganya. Setelah dihitung, jatuhnya bunga per bulan sebesar 533.000 rupiah.

Awal-awal membayar tidak ada masalah. Kalaupun ada pelanggan yang menunggak membayar, pengembalian ke bank bisa ditutupi dari sedikit sisa uang pinjaman. Melewati bulan ke-12, Nursia mulai kesulitan membayar kembali karena harus mengumpulkan pembayaran dari para pelanggannya. Akhirnya, beliau bisa mengembalikan setelah menunggak satu bulan.

Tujuh bulan berselang, beliau jatuh sakit dan sebagian uangnya dipakai berobat dan praktis tidak bisa mencari tambahan pelanggan. Di titik ini, bunga bank terus bekerja, tidak perduli dengan keadaan tersebut. Jangan tanya dimana pemerintah. Berulang kali beliau bertutur ke saya bahwa ia sendirian, apalagi setelah bercerai dari suaminya. Beliau juga malu terus-terusan meminta bantuan ke keluarga.

Setelah pulih dari sakit, beliau akhirnya kembali berhasil membayar cicilan ke bank namun tunggakannya jadi bertambah menjadi dua bulan. Tiga bulan menjelang habis masa cicilan, beliau berniat mengajukan perpanjangan pinjaman dengan harapan bisa menambah modal. Akan tetapi, pihak bank tidak dapat memproses permintaan tersebut karena berdasarkan aturan, bibi saya harus menunggu (top up) 6 bulan. Jika rekeningnya dipantau sehat oleh BI-checking, baru pinjaman bisa dikucurkan lagi.

Peraturan perbankan ini bagi saya sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin orang dipaksa menunggu 6 bulan agar usahanya dilihat lancar dulu. Bisa-bisa usahanya tutup sebelum waktu itu tiba karena sebagian besar modal dari pinjaman tersebut. Bahkan, jika seorang pengusaha memiliki track record buruk (tunggakan lebih dari 3 bulan) bisa terkena blacklist dan tidak bisa lagi mengajukan pinjaman di bank manapun. Aturan lain yang menurut saya koplak adalah kredit baru bisa dikucurkan oleh pihak bank jika usaha minimal sudah berjalan minimal 6 bulan. Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki modal awal untuk berusaha dan hendak mengajukan pinjaman ke bank?
(MODAL CARI SENDIRI - DIPAJAK PULA) #MIKIR

Peristiwa yang menimpa Nursia menjawab pertanyaan mengapa pemerintah Indonesia sulit mengurangi angka kemiskinan. Kebijakan pemerintah bersifat yang bersifat stimulus dan berbunyi program tidak dapat menjangkau seluruh rakyat dan tidak ada jaminan kontinuitas sehingga tidak kompatibel untuk mendukung penciptaan usaha baru.

Dan ini saya juga mempunyai vidio, kasusnya juga hampir mirip seperti yang dialami Nursia

Parahnya lagi, pemerintah tidak bisa mencampuri urusan moneter yang ditangani oleh sektor perbankan. Sifatnya hanya koordinasi. Sungguh aneh, sebuah lembaga negara (BI) yang pimpinannya dilantik oleh Presiden, kebijakannya bersifat independen. Padahal, uang sebagai barang publik adalah urat nadi pergerakan ekonomi dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sepuluh tahun terakhir angka kemiskinan bertahan di belasan persen. Ini belum terhitung penduduk dengan penghasilan hampir miskin (hanya selisih 50ribu hingga 100rb dari batas garis kemiskinan) yang jumlahnya mencapai 60 persen.

Menurut data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2017, orang miskin di Indonesia mencapai angka 27,77 juta jiwa. Jumlah tersebut naik. Pada September 2016, jumlah penduduk miskin masih berada di kisaran 27,76 juta jiwa. Hampir bisa dipastikan bahwa tambahan 6,90 ribu orang miskin adalah sumbangan dari penduduk hampir miskin yang pendapatannya tidak bisa lagi mengimbangi inflasi.

Problem kemiskinan semakin diperparah dengan fakta peningkatan ketimpangan ekonomi. Akan tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah trend peningkatan tersebut yang berjalan cepat dan bersifat sistemik. Ia mempunyai korelasi yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi : ada kecenderungan kelompok kaya menikmati pertumbuhan ekonomi secara disproporsional.

Berdasarkan rata-rata Gini (1990-1999) dan (2000 – 2012), Indonesia merupakan negara dengan perubahan Gini hampir 20%, lebih tinggi dari negara lain di kawasan dan anggota BRIC. China, yang dalam periode 1990 – 2012 mengalami pertumbuhan ekonomi rata-rata hampir dua digit, lebih pesat dari Indonesia, ternyata mengalami pertumbuhan Gini yang lebih rendah dari Indonesia. Sebaliknya, Malaysia, Thailand dan Russia merupakan negara yang berhasil menurunkan Gini secara cukup signifikan, walaupun nilai Gini mereka pada tahun 2012 masih lebih tinggi dari Indonesia.

Selain Gini income, ada faktor lain yang juga penting untuk dijadikan acuan dalam menganalisa ketimpangan, yaitu Gini wealth (kekayaan) dan Gini tanah (kepemilikan tanah). Kekayaan berperan penting bagi seseorang untuk mendapatkan income, menurut Hernando De Soto (2003), segala jenis aset sesungguhnya adalah modal yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan income. Dalam konteks ini, ketimpangan aset bisa dijadikan indikasi potensi ketimpangan dalam jangka panjang. Mereka yang mempunyai aset berpotensi mendapatkan income darinya, dengan menjadikannya aset produktif, maupun dengan mengkonversikannya menjadi cash.

Menurut survei Rand Institute (1997), sekitar 1% orang terkaya Indonesia menguasai 28,7% total aset, sedangkan 5% dan 10% terkaya menguasai 56% dan 65,4% aset. Aset yang dikuasai oleh 10% orang terkaya di Indonesia (65,4%) jauh di atas proporsi income mereka sebesar 30% (WDI, 2013). Penguasaan aset di Indonesia lebih terpusat daripada income. Dalam hal ini, kondisi Indonesia berada pada posisi 17 negara paling timpang berdasarkan Gini wealth, dari 150 negara yang disurvei (Davies, 2009).

Sistem perbankan berperan besar dalam pertumbuhan ketimpangan ekonomi. Dengan model penyaluran uang berbasis agunan, perpindahan aset terjadi pada nasabah gagal bayar melalui mekanisme lelang. Bisa dipastikan aset ini berpindah ke tangan mereka yang memiliki modal besar. Dan lucunya lagi, negara hanya mendapatkan timbal balik berupa fee dari proses tersebut.

Selain itu, penyaluran uang via perbankan lebih berpihak kepada pengusaha besar yang sudah stabil. Kondisi ini diperparah dengan sistem pasar yang tidak mempermasalahkan darimana barang berasal, yang penting tersedia dengan harga terjangkau. Usaha baru dengan modal kecil akan sulit bertahan menghadapi usaha yang diback-up modal besar. Contoh paling anyar adalah tumbangnya ribuan toko kelontong menghadapi gempuran retail modern yang tersebar merata dan hanya dimiliki oleh kakak beradik.

Dan dalam pandangan KITAB SAMAWI :
SISTEM KEUANGAN neo-romusha/ neo-rodi dan atau SISTEM PERBUDAKAN (RIBA) merupakan bentuk penjajahan dalam bidang ekonomi yang menimbulkan ketidakadilan dan kesengsaraan, khususnya bagi kaum yang lemah. Oleh karena itu Agama-agama Samawi besar seperti Yahudi, Nasrani dan Islam sepakat mengharamkannya. Pengharaman ini secara eksplisit dan atau SANGAT JELAS tercantum dalam kitab suci masing-masing agama tersebut.

DAN INI UNTUK PERENUNGAN :
#RENUNGAN
Pantaskah bangsa sebesar ini dengan sumber daya manusia yang sangat hebat di berbagai disiplin ilmu tidak berdaya dan bertekuk lutut dibawah kekuasaan uang dan undang-undang yang dapat melalaikan kita dari mengingat TUHAN dan/ atau tidak sepenuhnya sesuai dengan kehendak kita sebagai MANUSIA YANG ADIL BERADAB DAN BERHATI NURANI.

#RENUNGAN
Lembaran kertas dengan sebutan uang dan peraturan perundang-undangan bukan tuhan yang tidak layak untuk ditaati atau disembah melebihi ketaatan dan penyembahaan kita kepada TUHAN, karena lembaran kertas tersebut tidak pernah mempunyai hati dan akal, sehingga tidak akan pernah bisa menghadirkan kedamaian. Namun demikian uang dan peraturan perundang-undangan dibutuhkan untuk menghadirkan TATATAN YANG PENUH KEDAMAIAN dan bukan sebaliknya justru menimbulkan penjajahan dan menjadi Sebab utama sengketa antar sesama manusia.
KEDAULATAN TIAP-TIAP INDIVIDU SEUTUHNYA SEBAGAI MANUSIA ADALAH DIATAS SEGALA-GALANYA.

29 Jul 2017

REVOLUSI AGRARIA

Catatankita.com - Satu hal yang masih menjadi misteri bagi saya adalah klaim kepemilikan manusia atas tanah. Setahu saya, bumi ini sudah ada mendahului kita, manusia. Jadi, kita adalah kontraktor. Namun, apa boleh buat, kita sudah terlanjur gandrung. Apalagi, praktik ini dilanggengkan secara konstitusi oleh negara.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga pencatat hak atas tanah. Sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN berbunyi hak milik. Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional, Gunawan Muhammad, lahan yang tidak dikuasai individu dikuasai oleh negara dan diiventarisir oleh Kementerian Keuangan. Namun, tidak semua lahan terverifikasi.

Dan kini saya memberikan contoh seperti Konflik lahan di Urut Sewu adalah buntut keberadaan lahan yang belum tersertifikasi. Ironisnya, konflik tersebut melibatkan lembaga keamanan negara yang semestinya melindungi rakyat. Sampai tulisan ini dibuat, rakyat Urut Sewu bersama-sama mahasiswa, aktivis dan LSM sedang berjuang hak atas lahan yang menjadi hak mereka.

Sebelum republik ini berdiri, pada jaman kerajaan, perkara lahan/ tanah sepenuhnya menjadi otoritas raja. Bukan berarti Raja yang memiliki. Raja hanya administrator mutlak yang membagi pencatatan penggunaan/pemanfaatan lahan via unit kerja yang ditunjuk. Dengan demikian, pemanfaatan lahan oleh rakyat berbunyi hak pakai sehingga untuk keperluan pembangunan saat itu tidak perlu repot-repot membahas ganti rugi atau ganti untung. Raja tinggal mencarikan lahan baru untuk ditempati oleh rakyatnya, termasuk mengganti-bangunkan aset-aset yang berdiri di atasnya (rumah, gudang atau bangunan lainnya). DIY adalah satu diantara propinsi di negara ini yang masih mempraktekan otoritas semacam ini, meskipun tidak lagi paripurna, side by side dengan sistem sistem pencatatan oleh BPN.

Selain itu, praktik sistem keuangan kita menjadi kausa kerentanan perampasan lahan (land grabbing) tidak kentara. Akses uang melalui perbankan membutuhkan jaminan dan tanah adalah salah satunya. Saat seseorang gagal bayar pinjaman plus bunga, bank berhak melelang tanah yang diagunkan. Dari proses ini, negara hanya mendapat “receh” berupa “administrasi” proses pelelangan. Kemana sertifikat tanah ini jatuh? Tentu saja ke kalangan berduit. Hal ini menjawab fakta 0,2% penduduk Indonesia menguasai 56 persen aset produktif dan 87% dalam bentuk tanah.

Atas nama pembangunan, praktik land grabbing juga kerap dilakukan oleh pemerintah. Demi memuluskan investasi, masyarakat yang resisten terhadap upaya land grabbing biasanya diusir keluar tanpa konsultasi dan kompensasi oleh aparatur negara. Kalaupun ada pengantian, lebih banyak tidak sepadan karena memang namanya ganti rugi.

Oleh karena itu, REFORMASI AGRARIA sudah tidak cukup lagi untuk menegakkan keadilan akses lahan. Diperlukan REVOLUS AGRARIA berupa penyerahan hak milik atas tanah/ lahan ke Negara, bertransformasi menjadi hak pakai. Sebagai kompensasi, nilai lahan tersebut dihitung dan menjadi simpanan bagi rakyat. Namun, aksi tersebut belumlah cukup dan harus didukung akses anggaran by name by address (hak atas uang yang bebas jaminan plus bunga) dengan balas jasa bagi hasil ke negara.

Untuk menyegarkan semangat berjuang untuk sesuatu yang kita yakini ideal bagi setiap jiwa di bumi Indonesia, saya kutip petikan Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang kita kenal sebagai kelahiran Pancasila, “kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.”

KRITIK MEMBANGUN

Catatankita.com - Fitrahnya, kritik itu tidak menyenangkan. Pernah saya ditanya, “Yolanda, bagaimana cara menyampaikan kritik atau masukan tanpa melukai perasaan?”, atau dalam kalimat lain, kritis yang tidak kurang ajar. Saat itu, saya tidak punya jawaban.

 

Ternyata, Islam sudah punya jawabannya. Bahwa kritik itu sebuah keharusan. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa salah satu hak seorang muslim adalah memberikan nasihat jika ia memintanya. Saya garis bawahi, ‘jika ia memintanya’. Sementara, dalam Alquran disebutkan bahwa ada perintah langsung, yang tidak ambigu dalam kalimatnya, nasihat Luqman kepada anaknya (Q.S. 32: 12-19). Dalam ayat ini, nasihat Luqman diberikan tanpa didahului permintaan oleh anaknya.

Kedua nash ini seolah bertentangan, namun sejatinya ada garis yang menghubungkannya, yaitu reaksi penerima kritik. Saat seseorang meminta kritik, ia sudah menyiapkan mentalnya terlebih dahulu. Jadi, peluang hatinya terluka jauh lebih kecil. Begitupula seorang anak yang dinasehati oleh Bapaknya dengan santun (meskipun tanpa meminta), peluang untuk tersinggung sangat kecil. Secara, orang tua sendiri gitu loh. Inti dari kedua situasi ini adalah adanya kerelaan dari penerima kritik.

Berkaca dari dua model kritik tersebut, kritik yang disampaikan melalui media sosial atau kritik terbuka tentunya bukan jenis kritik yang membangun. Mengapa? Pertama, belum tentu yang dikritik menerima dengan lapang dada. Kedua, menyampaikan kritik yang dipemirsai oleh banyak orang bisa jatuh pada situasi mempermalukan, apalagi yang dikritik adalah aib.

Terkait pembenaran kritik terbuka terhadap penguasa pernah dilakukan dijaman Umar bin Khattab, konteksnya waktu itu ada permintaan dari Umar selaku khalifah. Lantas, apakah harus didiamkan? Bukankah sudah ada sistemnya? Saya tidak tahu sejak kapan kita memilih seseorang, lalu menyiapkan sistemnya agar berjalan baik, namun pada akhirnya kita meruntuhkannya sendiri dengan bentuk kritik yang tidak perlu. Ah, mungkin saja karena kita mengambil nash-nya setengah-setengah.

Tidak ada yang bisa melarang kita untuk mengkritik di media sosial. Tidak ada yang tahu niat kita, karena kita sendiri yang lebih sadar dan paham. Namun satu hal yang pasti, energi itu kekal, kecuali Tuhan mencabutnya. Setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai perbuatannya. Entah sekarang atau nanti-nanti.

Ekonomi Kerakyatan, Kemana Berjalan?

Catatankita.com - Menjadi bagian dunia ini tentu mengasyikkan, tak dapat dihitung berapa banyak kontribusi negara ini untuk kepentingan berbagai negara di dunia. Mulai dari pemanfaatan sumber daya alam untuk kebutuhan-kebutuhan bangsa-bangsa lain, hingga kadang hanya tinggal ampas yang tersisa.

Negara dengan tujuan mulia yaitu untuk menjadi negara adil makmur dan sejahtera, bahkan memiliki dimensi perjuangan untuk dunia. Dimensi perjuangan untuk dunia ini bisa kita jumpai di pembukaan undang-undang dasar, … penjajahan diatas dunia harus dihapuskan…. Tentu makna dari kata-kata ini bukan hanya sebagai bentuk kepedulian semata tapi lebih dari itu adalah aksi untuk mewujudkannya.

Tahun 1955 kita tahu tentang catatan berharga bangsa ini, membuat sebuah forum negara-negara asia afrika untuk berdiri dan sejajar dengan berbagai negara maju. Melalui tekad yang kuat bangsa ini mampu menginspirasi kemerdekaan dan pembebasan keterbelengguan dari penjajahan di berbagai negara asia afrika.

Bahkan dengan konferensi asia afrika tersebut mengantarkan Indonesia menjadi mercusuar baru dalam peta perpolitikan dunia. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa negara yang masih muda ini mampu mempererat persatuan dan kesadaran berbangsa di dunia.

Pada tahun 1967 juga tak kalah peran Indonesia dalam percaturan regional dengan mengutamakan kerjasama perekonomian dan hubungan sosial budaya di Association Of South East Asion Nations (ASEAN). Dengan negara yang berpenduduk terbesar waktu itu dan hingga ini menjadikan negara ini sangat diperhitungkan dalam diskusi maupun forum kenegaraan.

Apakah peran Indonesia yang dulu kita lakukan adalah tinggal kenangan semata? Sejarah hadir bukan untuk menjadi kenangan yang terlupakan tetapi sebagai penerus kita mempunyai peran lebih dengan menjadikan pelajaran hidup dalam menyongsong masa depan Indonesia.

Sekarang memang optimisme yang dibangun adalah Indonesia akan masuk dalam perekonomian global 8 besar untuk 2030-2045 yang akan datang. Pertanyaan saya, apakah kita harus menunggu hingga tahun tersebut, kalaulah nantinya kehendak Tuhan Yang Maha Esa akan memberikan lebih cepat dari itu. Dengan demikian permasalahan waktu bukan tolok ukur semata patokan yang pasti untuk hasil perjuangan Indonesia, pekerjaan rumah yang terbaik adalah melakukan hal terbaik dalam hidup untuk perjuangan ini.

Judul saya diatas bukanlah hal muluk-muluk yang menjadi mimpi saya, namun hal diatas dilihat dari sejarahpun kita adalah bangsa yang telah mempersembahkan kontribusi besar untuk dunia, terlepas dari apakah ini baik buruk terhadap negara sendiri?.

Dimensi yang ingin saya sampaikan bahwa ekonomi Indonesia untuk dunia adalah sebuah akibat apabila melakukan beberapa pemikiran pembangunan ekonomi kita sekarang. Pembangunan perekonomian yang dimaksudkan adalah proses peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Konstitusi kita telah mengamanatkan tentang pesan nasionalism yang utuh dan tinggi kualitas pemikirannya, walaupun ada yang menyebut Pancasila sebagai sebuah ketidakjelasan. Namun mau tidak-mau pancasila hadir sebagai jawaban pemersatu bangsa lintas suku bangsa, yang belum terlihat apakah manajemen pengelolaan perekonomian bangsa sudah sesuai jalur amanah konstitusi? Pertanyaan ini yang perlu kita urai, sebenarnya landasan filosofis dan implementasi pembangunan ekonomi bagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi.

Menurut saya ada beberapa langkah yang pertama adalah memastikan kejelasan kedaulatan rakyat sebagai bentuk tanggungjawab pengelolaan negara. Untuk memastikan kualitas dan kesejahteraan rakyat haruslah berbasis keakurasian data, by name by addressdalam setiap berserikat dan berkumpul rakyat di Indonesia.

Langkah ini adalah langkah nyata yang selama ini belum mewujud dalam kebijakan Indonesia secara menyeluruh. Silahkan bisa lihat kualitas data di Badan Pusat Statistik[2]. Dengan demikian pengakuan hidup kedaulatan adalah kepastian kehadiran negara bagi individu.

Kedua, konsekuensi dari data tersebut adalah kebijakan penganggaran dan kebijakan pembangunan dapat dipastikan sampai hingga individu rakyat. Hal ini akan berakibat pada mekanisme kebijakan fiscal/anggaran dan kebijakan moneter. Dengan demikian asumsi makro yang selama ini menjadi patokan pembuatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan berganti dengan APBN yang benar-benar bukan hanya asumsi tetapi riil pendapatan belanja negara (tiap-tiap warga negara).

Ketiga, kebijakan moneter akan menutut adanya penyediaan alat edar sesuai kebutuhan dari APBN yang sudah berbasis pendapatan dan belanja individu tersebut. Penyediaan alat edar hanya untuk memperlancar pertukaran atau barter produktivitas.

Dengan demikian penyediaan alat edar tidak lagi seperti sekarang yang hanya melihat permintaan dan penawaran uang dipasar keuangan, tetapi kebutuhan riil yang ada dimasyarakat, sehingga dari kalangan bawah hingga presiden tidak akan menemui atau menjumpai kata-kata, kita tidak punya uang, kita tidak punya anggaran.

Dengan setidaknya tiga langkah impelemtatif dari segi pengelolaan keuangan negara akan berdampak pada proses pembangunan ekonomi. Memastikan kesejahteraan dan kualitas hidup harus tiap-tiap individu warga negara, inilah yang diamanahkan dalam Undang-undang Dasar 1945.

Ketika langkah tersebut dapat ditunaikan insya alloh kita mampu menyongsong era baru yaitu pembebasan dari belenggu penjajahan dan hegemoni perekonomian dunia oleh bangsa-bangsa yang dikategorikan maju. Selain itu dampak sistemik dari langkah-langkah tersebut adalah menuju perdaban yang berkeadilan dan bebas dari penjajahan materialism dan kroninya.

Karena pibadi melihat selama satu dollar tidak sama dengan satu rupiah, satu ringgit, satu yen, satu peso, satu real, satu bath maka dengan lantang saya pastikan di dunia ini masih ada PENJAJAHAN. Dan kita hadir untuk membuka cakrawala tentang penjajahan yang super halus melalui perekonomian. Ekonomi Indonesia Untuk Dunia. Jaya-Jaya Wijayanti, Rahayu.
  1. Begawan Ekonomi Nusantara
  2. BPS sebagai lembaga pusat data Indonesia. Untuk membuktikan pernyataan saya diatas adalah dengan melihat kualitas data, metodologi yang dipakai dalam pengumpulan data. Data merupakan hal penting untuk keopastian dalam pembangunan ekonomi dan pembangunan bangsa, apabila data yang tersaji hanya sekedarnya tentu menjadi permasalahan yang akan hadir dikemudian hari.

27 Jul 2017

Dimana aku harus mencari uang


oh uang,
yang kucari siang dan malam,
hingga serasa menggantikan Tuhan di hati dan pikiran,
kau bisa beranak dan diperanakkan tapi kenapa kau bisa dijadikan tuhan,

oh uang,
kenapa kau ada di bank,
kau menjadi hutang lalu kau tagih dengan hitungan komputer tanpa mempedulikan rasa kemanusiaan,
kenapa kau menjadi ukuran kekayaan dan kemiskinan,
kau berbunga tapi tak harum dan rupawan
kau bisa dijadikan dagangan dan menjadi harapan menimbun keuntungan,

aku hanya butuh makan,
kalau kata anak jaman sekarang yang kubutuhkan adalah sandang pangan dan casan (charger),
tapi kenapa tanpamu aku tak bisa sarapan, dan mengenyam pendidikan.

Dimana aku harus mencari uang?
Kalau kata Bang Iwan dalam lirik lagunya: penguasa penguasa berilah hambamu uang,
ah siapa pula penguasa, presiden saja tak punya kuasa mencetak uang,
lagi-lagi bank yang kuasa mencetak uang,
tapi bank mencetak untuk angka-angka dan atas nama undang-undang, bukan untuk manusia yang kelaparan,

oh pasti yang dimaksud penguasa adalah Tuhan,
jadi aku cari saja manusia yang menghamba pada Tuhan agar bisa mencetak uang